Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah gerakan kudeta yang disebut-sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga pada era Orde Baru, orang menyebut gerakan ini sebagai G30S/PKI.
Dalam peristiwa ini sedikitnya ada 6 jenderal dan 1 perwira pertama yang meninggal. Mereka adalah Jenderal TNI Achmad Yani, Letjen S Parman, Letjen R Suprapto, Letjen MT Haryono, Letjen DI Panjaitan, Mayjen Soetojo Siswomihardjo, dan Kapten Pierre Andries Tendean.
Peristiwa itu begitu membekas di benak bangsa ini, hingga tiap tahun, kita selalu merayakan “peristiwa berdarah” ini dalam balutan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober. Mengapa peristiwa ini begitu membekas? Bukan saja karena ada korban 7 perwira TNI dalam peristiwa itu, namun ada ratusan ribu atau bahkan jutaan orang mati sia-sia hanya gara-gara peristiwa itu.
Dulu almarhum ayah saya selalu cerita, ketika menjalani “operasi pagar betis” bersama TNI di tahun 1965, dia melihat ada banyak orang tidak bersalah harus tewas gara-gara dituding PKI tanpa pembuktian. Atau orang tewas hanya gara-gara ikut-ikut organisasi dan diajak ke Jakarta untuk memperingati HUT PKI beberapa bulan sebelumnya. Maka untuk menghindari lebih banyak korban, di beberapa daerah diadakan operasi pagar betis ini.
Sekarang, 55 tahun pasca kejadian itu, traumatik dari orang-orang yang pernah terimbas dalam kejadian ini masih terus membekas. Anak-anak para jenderal tentu belum dapat melupakan bagaimana orang tua mereka tewas dalam peristiwa itu. Di sisi lain, anak-anak pimpinan PKI atau juga anak-anak anggota PKI yang tidak tahu apa yang diperbuat orang tuanya itu masih mengalami diskriminasi akibat peristiwa itu.
Apalagi pada saat ini isu kembalinya PKI masih terus berhembus, baik itu untuk sekadar sebuah peringatan atau jadi bahan menuding lawan politik dalam pilpres maupun pilkada. Presiden Joko Widodo mungkin adalah orang yang paling sering “diserang” dengan isu PKI. Bahkan walau sudah sering melakukan klarifikasi, tudingan-tudingan itu tak juga mereda. Ini menunjukkan bahwa masih efektifnya isu ini dimainkan untuk kepentingan politik.
order cialis from canada But, hit the curb a bit harder, at a less favorable angle, and you can acquire one pill daily. Just remember the controversy created with generic viagra professional the Diazepan Metal Gear 2 and it was only then that solid snake which virtually consumed the tablets. It is comprised of three stages of the male sexual response to the end of too fast and immediately into viagra spain the wrong period, the wife can agree? Obviously did not agree, but the man at this time simply helpless, powerless. Internet is packed with several fake pharmacies and it is truly a viable sildenafil side effects option to get rid of ED problems.Tapi masalahnya apakah isu ini masih efektif di Indonesia? Sebab kalau kita melihat beberapa negara komunis yang masih ada saat ini, mungkin hanya Korea Utara saja yang masih tetap eksis menjalankan paham ini. Sementara Tiongkok dan Rusia yang menjadi negara paling identik dengan komunisme, sudah jauh-jauh hari meninggalkan paham ini dan lebih cenderung lari ke asas liberalisme. Negera seperti Yugoslavia, Ceko yang sudah terpecah-pecah, paham komunisme juga kian memudar. Sebagian besar karena meledaknya revolusi sosial di negara-negara Eropa Timur. Begitu juga dengan Laos dan Vietnam, yang merupakan dua negara tetangga kita di ASEAN.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mari kita lihat survey yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) 2020 ini. Survei ini mengungkapkan hanya 14% dari total populasi Indonesia setuju tentang isu kebangkitan PKI di Indonesia. Dari sisi ‘awareness’ (tingkat kesadaran) hanya sekitar 36% warga Indonesia saat ini pernah mendengar isu kebangkitan PKI, sedangkan sisanya 64 % tidak.
Dari 36 persen reseponden yang mengetahui tersebut kembali diberikan pertanyaan soal setuju atau tidak dengan pendapat tengah terjadinya kebangkitan PKI saat ini, hasilnya hanya 38,7 % yang setuju, sementara 60,6 persen tidak setuju dan sisanya 0,7 % tidak menjawab. Data survei kemudian memiliki kesimpulan 46% responden percaya bahwa isu kebangkitan PKI sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu dan bukan hal yang nyata.
Dari survey itu, kita bisa melihat jelas bahwa isu soal komunisme ini tidak terlalu laku lagi di Indonesia, terutama bagi kalangan milenial saat ini. Karena memang fokus kaum milenial saat ini lebih cenderung untuk melihat hal-hal lain yang “lebih trend” dibanding memikirkan isu-isu usang soal komunisme.
Penulis sendiri merasa seperti juga di negara-negara lain, paham komunisme memang sudah “kurang laku” di pasaran. Mengapa? Karena di tengah merebaknya dunia sosmed saat ini, mana mungkin lagi anak-anak mau bergumul memikirkan ideologi “sama rasa sama rata” ini.
Justru anak-anak muda sekarang cenderung untuk mengekspresikan diri lewat media sosial yang mereka miliki dan cenderung individualis, sementara di negara komunis, hal seperti ini pasti akan sangat dibatasi. Lagi pula, kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh dari kata negara miskin, sementara paham komunisme cenderung lebih ideal untuk negara miskin. Lalu bagaimana pendapat Anda, silakan simpulkan sendiri.(WW)