Tepat hari ini adalah Hari Perdamaian Internasional, hari yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 21 September yang didedikasikan untuk perdamaian dunia terutama untuk mengakhiri perang dan kekerasan, contohnya adalah konflik yang terjadi antar negara yang menyebabkan krisis kemanusiaan yang tidak diinginkan.
Hari Perdamaian Internasional pertama kali diperingati tahun 1982, dan dipertahankan oleh banyak negara, kelompok politik, militer, dan masyarakat. Pada tahun 2013, untuk pertama kalinya, hari peringatan ini didedikasikan oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk pendidikan perdamaian, sebagai sarana pencegahan yang penting untuk mengurangi peperangan yang berkelanjutan.
Lembaga tersebut terus berupaya untuk merancang dan menjaga perdamaian dunia setelah selesainya Perang Dunia II. Peringatan ini sendiri didedikasikan untuk memperkuat perdamaian dunia, khususnya demi selesainya perang dan kekerasan.
Setiap tanggal 21 September, di Markas Besar PBB tepatnya di New York, Lonceng Perdamaian PBB dibunyikan sebagai tanda pembuka. Lonceng itu sendiri terbuat dari berbagai koin hasil sumbangan anak-anak seluruh benua kecuali Afrika yang jadi pengingat korban manusia sebagai dampak perang.
khusus bagi Indonesia pasca merdeka tatanan urusan politik dalam negeri menjadi salah satu hal yang paling diperhatikan, namun tidak berhenti sampai situ, Indonesia berkomitmen untuk focus turut andil dalam urusan politik luar negeri, untuk diingat adalah peran Indonesia dalam menyelesaikan konflik di kamboja yang terjadi pada tahun 1970-1988, Hubungan diplomatik yang terjalin antara indoensia dengan kamboja telah dimulai sejak era ke-presidenan soekarno lalu dilanjut dengan soeharto yang sama-sama melakukan hubungan diplomatik yang harmonis dengan kamboja, dibuktikan dengan menjadikan Negara Kamboja sebagai Negara Asia Tenggara pertama yang dikunjungi Soeharto, konflik di Negara Kamboja dimulai pada saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Pangeran Sihanouk ke Jenderal Lon Nol lewat sebuah kudeta militer pada tahun 1970, para sarjana mempercayai bahwa kudeta ini diinspirasikan oleh peristiwa G 30 S di Indonesia yang dianggap kemenangan militer terhadap komunis
Indonesia pada saat itu mengambil sikap untuk mengakui pemerintahan Lon Nol, namun pengakuan tersebut tidak berdampak legitimasi yang utuh bagi pemerintahan Sihanouk,
Indonesia lewat Menlu Adam Malik saat itu menginisiasikan untuk mengadakan konferensi internasional yang membahas konflik Kamboja pada tahun 1970, dikenal dengan konferensi Jakarta saat terjadi lagi pergantian pemerintahan dari Lon Nol ke rezim Khmer Merah yang dipimpin Polpot, Pemerintah Indonesia menginginkan bahwa Kamboja mengambil sikap Non-Blok ,dan netral, hal tersebut coba kembali direalisasikan oleh Menlu selanjutnya Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Menlu Mochtar merespon dengan sangat cepat dengan jalur ASEAN saat terjadinya perebutan kekuasaan dari Khmer Merah ke kelompok PRK (People Republic of Kampuchea).
Perebutan yang dibantu oleh Vietnam itu dipandang oleh masyarakat ASEAN sebagai invasi Vietnam terhadap Kamboja, Negara-negara di ASEAN juga ikut terpecah isu dengan tidak mengetahui kelompok manakah yang berbahaya, di sidang-sidang PBB pembahasan terkait penyelesaian konflik Kamboja ini terus dilakukan, berkat perjuangan diplomatik yang terus-menerus serta dukungan dari Negara-negara anggota PBB lainnya, ASEAN berhasil mendorong dilahirkannya resolusi tentang pelaksanaan Internasional Conference on Kampuchea yang dilaksanakan di New York pada tahun 1981. Usaha-usaha lewat ICK ternyata kurang membawa dampak pada sikap Vietnam, oleh karena itu ASEAN menempuh strategi diplomatik yang lain dengan mendukung pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok anti –PRK Vietnam yang terdiri dari funcipec,KPNLF, dan Khmer Merah.
Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea tersebut bahkan mengambil tempat di Negara-negara ASEAN. Dukungan ASEAN berkembang menjadi dukungan internasional saat ASEAN berhasil memperjuangkan sebuah resolusi yang mengakui CGDK sebagai perwkilan dari kamboja di PBB. Berdasarkan kekhawatiran bahwa Kamboja tetap akan dikuasai Vietnam, diplomat-diplomat ASEAN merumuskan kembali berbagai strategi diplomatik dalam bentuk beberapa proposal perdamaian. Malaysia menggjukan proposal Proximity Talks yang akan mempertemukan negara-negara Indocina dengan negara-negara ASEAN. Namun proposal ini ditolak karena ketidaksetujuan anggota ASEAN yang dekat dengan Cina, Thailand dan Singapura.
Pada saat yang bersamaan Indonesia menjalankan kebijakan dual track diplomacy yang berarti mendekatkan diri ke Vietnam dan sekaligus memperjuangkan proposal-proposal yang disetujui ASEAN. Di pertengahan dekade 1980-an, Menlu Mochtar melontarkan ide diselenggarakannya sebuah cocktail party untuk memudahkan semua pihak yang bertikai untuk membicarakan masa depan Kamboja secara informal tanpa label politik apapun.
Sebagai kelanjutan dari perwujudan ide tersebut, Menlu Mochtar ditunjuk oleh ASEAN sebagai interlocutor dalam mengadakan negosiasi dengan Vietnam . Berbagai pertemuan dan pembicaraan dilakukan Menlu Mochtar dalam menjalankan fungsinya tersebut. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Menlu Mochtar dan Menlu Nguyen CO Thach akhimya melahirkan kesepakatan yang disebut Ho Chi Minh City Understanding yang menjadi landasan dasar dari pelaksanaan cocktail party yang kemudian disebut JIM (Jakarta Informal Meeting).
Bagi kepentingan nasional, keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Keberhasilan Indonesia ini membawa Indonesia sebagai kekuatan yang dominan di Asia Tenggara sesuai dengan keinginan baik Sukarno maupun Suharto. Dominasi Indonesia di Asia Tenggara kemudian didukung dengan terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang memperlancar proses pembangunan di tiap-tiap negara Asia Tenggara dan jauh dari campur tangan kekuatan asing di luar kawasan. Bagi ASEAN hal tersebut merupakan keberhasilan penerapan konsep ZOPFAN, untuk diketahui juga ZOPFAN merupakan Zona Perdamaian, Kebebasan dan Netralitas (ZOPFAN) adalah pernyataan yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) pada tanggal 27 November 1971 di Kuala Lumpur, Malaysia.Disebut juga dengan Deklarasi Kuala Lumpur, Dalam deklarasi tersebut, para pihak secara terbuka menyatakan niat mereka untuk menjaga Asia Tenggara “bebas dari segala bentuk atau cara campur tangan oleh Kekuatan luar” dan “memperluas bidang kerja sama.” dan sekaligus memperlihatkan bahwa organisasi ini lebih mengutamakan kerukunan diatas perbedaan pendapat yang kemungkinan dapat memecah para anggotanya.
Indonesia sebagai salah satu pendiri dan penggagas ASEAN merasakan dampak yang sangat positif dari keberhasilan diplomasi tersebut. Indonesia kembali berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara terpandang di dunia intemasional bukan dengan politik mercusuarnya dan keberpihakan terhadap blok tertentu, namun dengan upaya menyelesaikan masalah di kawasan oleh negara-negara di kawasan itu sendiri. Keberhasilan terbesar Indonesia ialah mengangkat masalah Kamboja menjadi agenda internasional yang harus dipecahkan oleh seluruh masyarakat dunia.