Kali ini saya akan membahas mengenai Kebijakan Untuk Impor Di Indonesia. Jadi selama ini, sangat sedikit pihak-pihak yang mengetahui mengenai barang seperti apa saja yang dapat diimpor. Berdasarkan pengalaman saya, di lapangan, banyak BUMN tidak mempunyai kebijakan yang mengatur tentang barang yang tidak tersedia di dalam negeri untuk kebutuhan perusahaan sehingga diperbolehkan untuk melakukan impor barang dan jasa oleh BUMN.
Kondisi mengapa dilakukannya impor produk barang dan jasa karena sebagian besar produk dalam negeri terganjal oleh regulasi spesifikasi, patokan harga, dan berbagai aturan yang tak mampu dipenuhi industri nasional dalam waktu singkat sehingga terdapat beberapa produk barang/jasa yang harus diimpor. Selain itu, banyak perusahaan dan BUMN melakukan impor disebabkan supply atas barang subtitusi impor masih belum tersedia baik secara kualitas dan kuantitas.
Kondisi ini tidak sesuai dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yakni Pasal 6 Permenperin Tahun 2014 yang mengatur bahwa Pengadaan barang pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD dilarang impor apabila:
- barang tersebut diproduksi di dalam negeri;
- barang produksi dalam negeri telah memenuhi persyaratan teknis sesuai kebutuhan;
- jumlah volume barang produksi dalam negeri telah memenuhi kebutuhan;
- dalam hal ketentuan diatas tidak mencukupi makanya kekurangannya saja yang dapat diimpor.
Selain itu, terdapat pula proyek-proyek dimana BUMN sebagai penyedia barang/jasa maupun pengguna barang/jasa, terikat dengan skema kerjasama strategis (strategic partner) atau loan agreement, dan dari pihak rekan kerjasama investasi, pembiayaannya berskala besar dan menuntut kualitas produk yang tinggi untuk sektor konstruksi, harga yang disepakati serta ketersediaan produk tepat waktu.
Sebagai contoh ada dalam perjanjian tertentu, dimana pada poin Pasal 2.1 huruf (x) yang mengatur bahwa Lingkup Pekerjaan termasuk melaksanakan pengadaan peralatan-peralatan utama untuk pelaksanaan Proyek dari negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan BUMN wajib menyediakan peralatan utama dari negara-negara Organisation for Economic Cooperation Development (OECD). Permasalahan utamanya adalah Indonesia bukanlah atau belum menjadi anggota dari Organisation for Economic Cooperation Development (OECD).
Sehingga keberadaan perjanjian kerjasama dengan pihak mitra ini membatasi penggunaan produk dalam negeri oleh perusahaan dan harus melakukan impor untuk menjalankan kewajiban yang diperintahkan dalam perjanjian tersebut.