Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengajukan banding atas vonis terhadap Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan yang dibebaskan dari dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Vonis ini diketuk palu oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Wawan dinyatakan bebas dari dakwaan kedua dan ketiga yakni, Pasal 3, Pasal 4 dan terakhir Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Putusan bebasnya Wawan dari TPPU sebetulnya cukup menarik. Karena, terdapat fakta yang jika kita gabung dengan teori tahapan TPPU yang dikemukakan oleh Guru Besar Falkutas Hukum Bisnis Universitas Sriwijaya, Prof H Joni Emirzon, adik kandung mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu bisa saja dapat dijerat TPPU mungkin juga tidak.
Karena ada beberapa tahapan yang diupayakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada KPK sepertinya terkesan dipaksakan.
Dalam makalahnya “Bentuk Praktik dan Modus Tindak Pidana Pencucian Uang” Joni menyebutkan, ada 3 tahapan tahapan proses dalam pencucian uang. Pertama, Penempatan (Placement), Transfer (Layering) dan Menggunakan Harta Kekayaan (Integration).
Untuk penempatan, biasanya pelaku TPPU melakukan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan.
Seperti menempatkan uang dalam bank yang kadang diikuti dengan
dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
Lalu menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain dan terakhir membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah. Dan terakhir membeli barang berharga.
Sedangkan Transfer atau Layering, kata Joni, adalah ‘memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana’.
Dalam nota analisa yuridis yang disusun Jaksa Penuntut Umum pada KPK memang terdapat fakta yang adanya dugaan upaya menyamarkan hasil korupsi atas 14 paket Pengadaan Alkes Rumah Sakit Rujukan Pemprov Banten TA 2012.
Dimana, Wawan bekerjasama dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Dadang Prijatna untuk menguasai paket pengadaan alat kesehatan. Caranya dengan menunjuk pemenang lelang yang merupakan rekanan Wawan.
Seperti, PT Marbago Duta Persada, PT Mikkindo Adiguna Pratama, CV Bina Sadaya, PT Adca Mandiri, PT Dini Usaha Mandiri dan PT Buana Wardana Utama.
Setelah perusahaan tersebut jadi pemenang dan Dinas Kesehatan melakukan pembayaran kepada masing-masing rekening perusahaan
pemenang.
Wawan pun meminta Dadang untuk memgumpulkan pembayaran
dari masing-masing direktur perusahaan baik secara tunai maupun cek Bank BJB yang ditujukan kepada PT Bali Pacific Pragama nilainya mencapai Rp112 miliar lebih.
Dari sini apakah perbuatan Wawan masuk kategori Layering? “Yakni perbuatan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindakpidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan.”
Pasal yang digunakan KPK sendiri dalam mendakwa Wawan khusus untuk TPPU adalah Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pasal 3 sendiri berbunyi; ‘Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyampaikan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan Pidana paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,-‘
Dalam pemberitaan Hukumonline.com pada 1 Oktober 2019 lalu, disebutkan yang dimaksud oleh Jaksa KPK sebagai upaya TPPU adalah belanja Wawan terhadap sejumlah aset. Seperti membeli puluhan kendaraan merek mewah seperti Rolls Royce, Lamborghini, Bentley hingga truk Hino.
Lalu puluhan tanah dan bangunan di dalam dan luar negeri. Sebut saja satu unit apartemen di Unit 1105 50 Albert Road South Melbourne seharga AUD807.500, satu bidang tanah dan bangunan di 25 Hobbs Avenue Dalkeith, Perth Western Australia sebesar AUD2.250 dan satu bidang tanah dan bangunan di 1 Monterey Close Kew VIC 310 sebesar AUD3.725 ribu.
Kemudian, menjadi pemodal beberapa politisi yang merupakan kalangan anggota keluarganya. Sebagaimana, keluarga Atut menduduki jabatan penting di wilayah Banten.
Memang jika dibandingkan dengan beberapa perkara TPPU yang lain. Sebut saja TPPU Bupati Bangkalan Fuad Amien. Dimana, setiap pembelian aset selalu menggunakan nama orang lain.
Atau pun TPPU yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Selain aset yang diatasnamakan Mochtar Effendi, Akil bersama pihak yang menyuapnya membuat Layering transferan. Yakni, Akil bersama pihak penyuapnya membuat catatan transaksi fiktif jual beli ikan hias dan hasil kebun. Padahal, itu adalah transaksi kesepakatan untuk mengabulkan putusan sengketa Pilkada.
Namun dalam perkara Wawan, sepanjang dari pemberitaan dan dokumen yang diperoleh penulis tidak ada aset yang dibeli Wawan dengan mengatasnamakan orang lain.
Memang ada pembelian sejumlah asuransi miliaran rupiah. Lalu, surat perjanjian pemborongan pembangunan SPBE PT Buana Wardana Utama di Kibin senilai Rp7,71 miliar, menyewa apartemen di Setiabudi, menyimpan uang di kantor PT Bali Pasific Pragama Rp68,499 juta AS$ 4.120, AUD 10, Sin$ 1.656, GBP 3.780, menyimpan uang hasil operasional SPBE atas nama PT Java Cons Rp2,545 miliar, dan SPBU atas nama PT Java Cons Rp3,3 miliar.
Namun hal ini, dianggap kurang kuat meyakinkan Majelis Hakim yang diketuai Ni Made Sudani dengan Mochamad Arifin, Rustiyono, Herman Binaji dan Sasiwi.
Lalu bagaimana dengan Hakim Pengadilan Tinggi?